BAB I
PENDAHULUAN

Globalisasi sebagai sebuah fenomena mulai menampakkan dirinya pada sekitar tahun delapanpuluhan abad ini. Dan pemunculan itu setidaknya sangat berkiatan erat dengan 3 peristiwa besar yang masing-masing mewakili ranah politik, teknologi dan ekonomi. Ketiga peristiwa itu adalah:

1. Ranah politik: berupa berakhirnya perang dingin antara Timur –yang dalam hal ini diwakili oleh Uni Soviet- dan Barat –yang dalam hal ini diwakili oleh Amerika-. Tentu saja dengan “kekalahan” di pihak Uni Soviet yang belakangan harus rela membiarkan wilayahnya tercabik dan melepaskan diri satu persatu.

2. Ranah teknologi: yang mewujud dalam revolusi informasi, dimana dunia menyaksikan ledakan yang luar biasa dalam bidang telekomunikasi dan arus perpindahan informasi yang tak terkendali dari satu tempat ke tempat yang lain.

3. Ranah ekonomi: berupa lahirnya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1995 yang kemudian menjadi bibit persemaian awal ide pasar dan perdagangan bebas di antara semua negara.

Satu hal unik yang patut dicatat adalah bahwa globalisasi belum pernah terjadi atau ditemukan pada abad-abad sebelumnya, meskipun beberapa negara atau bangsa memiliki kekuasaan penuh (baca: menjajah) bangsa lainnya secara militer dan ekonomi. Meskipun Romawi pernah menguasai hampir semua wilayah Eropa misalnya, namun kekuasaan itu kemudian tidak melahirkan fenomena globalisasi ini.

Demikian pula jika kita menariknya jauh ke belakang di saat bangsa Eropa menggalakkan ekspedisi pencarian wilayah baru di kawasan timur bumi, sejarah tidak pernah mencatat adanya fenomena baru yang disebut globalisasi ini, meskipun sebagian negara Eropa itu berhasil menanamkan kekuatan dan kekuasaannya di berbagai wilayah timur dunia. Namun di zaman kiwari ini, di saat kita –setidaknya secara kasat mata- tidak lagi melihat bentuk-bentuk imperialisme klasik atas bangsa lain, gelombang globalisasi dengan dukungan perkembangan telekomunikasi dan transportasi yang berkembang nyaris setiap detik, justru menjelma menjadi fenomena yang tak mungkin lagi terbendung. Kita nampaknya tidak mempunyai pilihan lain selain turut serta menjadi “pemain” dalam arusnya yang sangat kuat. Tinggal kemudian kita yang menentukan: apakah kita sekedar menjadi “pemain” yang pasrah mengikuti ke mana saja ia mengalir, atau justru menjadi “pemain” yang lihai memanfaatkan arusnya untuk mewujudkan cita-cita keislaman kita.

Tulisan ini pada intinya ingin menyampaikan gagasan seputar bagaimana seharusnya seorang muslim dapat tetap berdiri kukuh menggenggam identitasnya, sembari terus memanfaatkan kekuatan arus globalisasi tersebut untuk kepentingan Islam yang ia yakini. Karena itu, uraian kajian ini akan mengulas poin-poin berikut ini:

1. Apa itu globalisasi?

2. Kegelisahan bangsa-bangsa dunia akan krisis identitas mereka akibat globalisasi. (Dampak negatif globalisasi terhadap identitas bangsa-bangsa dunia)

3. Bagaimana menyelesaikan dampak negatif globalisasi terhadap identitas muslim.

4. Bagaimana memanfaatkan globalisasi sebagai jalan untuk memperteguh identitas muslim.



Apa Itu Globalisasi?

Meskipun globalisasi telah menjadi fenomena yang diakui keberwujudannya oleh semua kalangan, namun tetap saja terjadi perbedaan pandangan saat kita akan menjelaskan batasannya yang sebenarnya. Para cendekiawan yang mengurai masalah ini setidaknya terbagi menjadi beberapa “madzhab” ketika memberikan definisi terhadap globalisasi, antara lain:
Pertama, adalah yang menitikberatkan fenomena globalisasi pada bidang ekonomi. DR. Sa’ad al-Bazi’i misalnya menyebutkan:
Globalisasi adalah penjajahan dalam pakaiannya yang baru. Sebuah pakaian yang dibentuk oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan membawa nilai-nilai yang mendukung tersebar dan mengakarnya kepentingan-kepentingan itu. Ia adalah penjajahan tanpa dominasi politik secara langsung atau iring-iringan militer yang kasat mata. Secara sederhana, ia adalah upaya yang didorong oleh hasrat berkuasa manusia atas ekonomi dan pasar lokal, lalu mengikatnya dengan sistem yang lebih besar untuk kemudian mendapatkan sebanyak mungkin konsumen. Dan jika upaya pencarian pasar dan usaha untuk memasarkan (produk) adalah merupakan tuntutan manusiawi yang telah ada sejak dulu hingga sekarang, bahkan disyariatkan, akan tetapi apa yang terjadi di sini (dalam globalisasi –pen) tidak sama dengan itu. Sebab (globalisasi) adalah upaya untuk melakukan persaingan yang tidak berimbang –bahkan boleh jadi tidak terhormat- dari satu sisi, dan dari sisi lain ia adalah upaya untuk melemahkan apapun yang menghalangi jalannya; baik itu berupa nilai ataupun upaya ekonomi dan pemikiran.

Penjelasan ini dengan sangat jelas memandang bahwa inti dari globalisasi sepenuhnya berputar pada satu titik utama, yaitu kepentingan ekonomi pihak yang menggerakkan globalisasi itu. Tindakan apapun yang lahir kemudian, meskipun tidak memiliki aroma ekonomi yang kental, sesungguhnya adalah alat untuk menyukseskan kepentingan utama tersebut. Meskipun sebenarnya pengaitan globalisasi dengan ekonomi bisa melahirkan dua paradigma yang kontradiktif: paradigma optimistik dan pesimistik. Dengan paradigma optimistik kita bisa saja mengatakan bahwa globalisasi akan membuka sekat-sekat yang selama ini menghalangi banyak negara untuk memasarkan produknya atau mendapatkan produk-produk penunjang kemajuannya. Sementara dengan paradigma pesimistik, kita juga bisa mengatakan bahwa globalisasi hanya akan menambah jumlah kemiskinan dan menguntungkan korporasi-korporasi besar, yang mengakibatkan matinya usaha-usaha kecil.
Kedua, yang mengaitkan globalisasi dengan sisi pemikiran dan ideologis. Suatu model yang disebut sebagai teologi global oleh John Hick, atau teologi dunia (world theology) oleh W.C. Smith. DR. Muhammad ‘Abid al-Jabiry mengatakan:

Globalisasi berarti menafikan yang lain dan menjalankan ‘proses pemberangusan’ pemikiran (lain)...Ia juga berarti dominasi dan pengharusan menerapkan satu model konsumsi dan perilaku yang sama.


Hal yang sama juga kemudian digambarkan secara lebih jelas oleh Muhammad Samir al-Munir yang menyatakan:

Barat ingin mewajibkan model, pemikiran, perilaku, nilai, gaya dan pola konsumsinya terhadap (bangsa) lain. Sedangkan orang-orang Prancis memandang bahwa globalisasi adalah wujud halus dari Amerikaisasi yang mewujud dalam tiga simbol: (1) kepemimpinan bahasa Inggris sebagai bahasa kemajuan dan globalisasi, (2) dominasi film-film Hollywood dengan ide-ide rendah namun fasilitas yang fantastik, dan (3) minuman Coca-cola, sepotong burger dan Kentucky-nya...

Atau dalam bahasa ide yang sama, menurut Malcom Walter, bahwa globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah memasarkan ideologi Barat, dan bahkan membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya. Karena kenyataannya, -masih menurut Walter- gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme, liberalisme dan sekulerisme.

Ketiga, ada yang memberikan batasan bahwa globalisasi tidak lebih dari sekedar sebuah fenomena “afiliasi yang bersifat internasional”, seperti batasan yang diberikan oleh DR. Shabri ‘Abdullah:

Bahwa globalisasi adalah fenomena dimana segala hal yang berhubungan dengan ekonomi, pemikiran, sosial dan perilaku bercampur serta berkelindan menjadi satu, hingga kemudian (hasil percampuran itu –pent) diafiliasikan kepada seluruh dunia melampaui batas-batas politis negara-negara.

Sementara yang lain mencoba memberikan batasan yang lebih komperhensif dan integral terhadap globalisasi dengan menetapkan bahwa fenomena ini tidak sekedar mewakili salah satu dari poin-poin yang dititiktekankan oleh ketiga pandangan sebelumnya. Samir al-Tharablusi misalnya menguraikan batasan globalisasi dengan mengaitkannya –setidaknya- pada 3 hal: ekonomi, politik, dan pemikiran. Ia menjelaskan bahwa globalisasi adalah sebuah pandangan strategis kekuatan kapitalisme internasional, khususnya Amerika Serikat, yang bertujuan untuk menata ulang dunia sesuai kepentingan dan ketamakannya. Dan dalam proses menuju itu, pandangan ini menempuh 3 jalan penting: (1) Ekonomi, dan tujuannya adalah menekan dunia untuk masuk dalam satu pasar kapitalisme yang diatur dengan satu sistem, dimana seluruh kekuatan kapitalisme (Tujuh negara industri, IMF, WTO, dan yang lainnya) dikerahkan untuk mengawasi dan membatasi geraknya. (2) Politik, dan tujuannya adalah membangun ulang tata politik negara-negara dunia dalam wujud yang terpecah-pecah dan membangun negara-negara baru yang memiliki kekuatan legitimasi yang rapuh oleh pertikaian internal; semuanya dengan tujuan memberangus hasrat perlawanan negara-negara dunia terhadap kapitalisme –yang memang tidak akan mencapai kestabilannya kecuali dengan keterpecahan itu. (3) Pemikiran, yang bertujuan mencerabut akar bangunan pemikiran dan peradaban bangsa-bangsa dunia, dengan tujuan menyapuratakan dunia dengan pemikiran yang mendukung kepentingan pasar global; seperti menggiring opini negara berkembang bahwa mereka tidak bisa melepaskan ketergantungan pada negara-negara maju.

Batasan terakhir ini mungkin menjadi penjelasan terutuh tentang globalisasi. Namun dari semua penjelasan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa globalisasi adalah: “sebuah kata yang merangkum beberapa fenomena yang intinya adalah menjadikan dunia saling berdekatan melalui kemajuan yang dahsyat dalam sarana komunikasi, transportasi, satelit dan internet, keterbukaan arus informasi, yang (semuanya itu) disertai dengan kekuasaan satu kutub (dalam hal ini Amerika dengan pengaruh Zionisme) yang berusaha untuk menyatukan semua kekuatan ekonomi, politik (termasuk didalamnya militer) dan pemikiran untuk memenuhi kepentingannya”.












BAB II
Perwujudan  NU dalam Menghadapi Globalisasi
1.      Benteng Perekonomian NU di Era Post Globalisme

Melihat NU saat ini, berarti melihat pertarungan yang sangat ketat antara kemajuan yang telah diraih, kemunduran yang dialami, dan menatap tantangan kedepan yang begitu rumit. Kemajuan dan kemunduran NU mengalami tarik-ulur yang belum pernah selesai dari hal negatifnya yang selalu melingkupi, belum lagi tantangan kedepan yang masih membutuhkan kinerja yang ekstra, dan konsep kinerja yang lebih canggih. Kemajuan patut untuk   ditingkatkan dan kemunduran mutlak untuk dibumihanguskan

             Secara eksplisit, kita harus memberikan apresiasi terhadap perjuangan para pemikir, kader, dan intelektual-intelektual NU yang selalu setia dalam jatuh bangun bersama NU, karena kemajuan NU selama ini tidak terlepas dari jerih payah mereka, baik yang berada di kalangan basis, ormas, lembaga suwadaya, NGO (yang kebanyakan terdiri dari kaum kritis), dan tataran elit  baik yang di politik praktis maupun NU struktural. Banyak hal yang telah mereka lakukan, ada yang bergelut berjuang dalam bidang pemikiran keilmuan, perekonomian rakyat, ketatanegaraan (yang terwujud dalam wadah Partai Politik), dan banyak lagi yang lain. Ini tentu dilakukan dalam rangka memajukan NU; mensejahterakan dan memakmurkan NKRI.

             Di balik itu, kemunduran pun dialami oleh NU, dari berbagai konflik yang terjadi, begitu pula adanya pendatang baru, ditambah lagi dengan arus globalisasi yang tanpa terasa telah merongrong jantung pertahanan NU, hal ini membuat langkah NU semakin tertatih-tatih. Problema inilah yang perlu untuk dituntaskan. Perlu adanya langkah dan konsep baru dalam merancang gerak langkah, begitu pula persatuan tekad, tujuan dan ikatan mutlak adanya untuk terwujudnya konsep baru tersebut dalam realitanya.

            Untuk meneruskan langkah NU ke depan bukanlah semakin mudah, melainkan akan semakin rumit, hal ini disebabkan karena tantangan yang ada di depan begitu besar dan kuat, keinginan untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang sejahtera dan adil  dalam bingkai ‘kebangsaan” dan “keagamaan” menjadi sulit, bahkan kesejahteraan masyarakat sendiri bisa-bisa tergadaikan; pada realitanya, keadaan bangsa Indonesia saat ini semakin carut marut, gejolak reformasi yang sebelas tahun yang lalu bergemuruh, kini lambat laun meredup. Penangan krisis dalam seluruh aspek masyarakat belum menampakkan hasilnya.
 Euphoria masyarakat akan kebebasan dalam berpolitik justru membuat masyarakat terlena akan tugas utama, bangkit dari keterpurukan. Para pemimpin bangsa pun sibuk dengan urusa politik dan kepentingan kelompoknya. Yang terjadi kemudian justru konflik kepentingan yang tak terhindarkan.

          Berharap pada politisi untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara seakan menjadi utopia. Justru kini masyarakat semakin sengsara akan kondisi perekonomian bangsa. Harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya semakin tak terjangkau, sebagai akibat dari lonjakan harga minyak mentah dunia, belum lagi adanya krisis global yang melanda, seiring dengan itu jumlah penduduk miskin semakin bertambah.

           Di balik meja kekuasaan, korupsi semakin merajalela dengan modus yang semakin canggih cara melakukannya. Nyaris tak kentara, kalaupun dapat dicium aparat penegak cara mengelakpun sudah didapat. Predikat Negara terkorup pun seakan enggan lepas dari negeri kita. Para bandit Negara belum akan berhenti sebelum dasi mereka sendiri mencekiknya, lengkap sudah penderitaan rakyat.

           Oleh karena itu, dalam merspon hal inilah maka kemajuan yang telah diraih NU mutlak untuk ditingkatkan. Permasalahan-permasalahan yang kini sedang tersenyum manis harus segera mendapat respon dengan melahirkan konsep dan ide-ide yang canggih dalam menanggulanginya.

Era post globalisme

           Dalam menentukan konsep dan sebuah ide atas permasalahan sebagaimana yang penulis ungkapkan di atas, perlu adanya analisis terhadap varian-varian yang melingkupi dan asal mula penyebab masalah itu terjadi hingga konsekuensi yang dirasakan oleh masyarakat. Namun dalam kesempatan ini penulis akan mengkritisi, melihat varian, dan asal mula penyebab masalah yang terkait dengan kesejahteraan ekonomi rakyat.

          Di era post globalisme ini, hal yang akan sulit didapatkan adalah kesejahteran, terutama kesejahteraan dalam bidang ekonomi. Pertarungan ekonomi dunia akan semakin ketat dan panas. Pasar global akan segera merebak ke seantero dunia, para pelaku ekonomi kecil dan menengah akan menelan erosi kekalahan yang sangat hebat, ironisnya para pelaku ekonomi kecil dan menengah ini adalah bais riil warga NU. Varian dalam bidang ekonomi ini adalah didalangi oleh sistem ekonomi kapitalis-neoliberalis.

         Dalam kaitannya dengan negara-negara di dunia (yang saat ini banyak mengadopsi sistem kapitalis), posisi Indonesia hanyalah negara yang berada di titik pinggiran, yang menyediakan kekayaan alamnya untuk disedot ke pusat-pusat negara maju dengan cara meminjam uang ke negara maju dan dengan penanaman modal asing. Penduduk yang besar dan dengan kekayaan alam yang melimpah justru menjadi hadiah berharga bagi negara-negara maju, dulu kolonialisme fisik sekarang imperialisme neoliberal.

        Posisi pinggiran dan miskin secara nasional perlu menjadi kesadaran seluruh warga bangsa, Indonesia bukan negara maju, bukan negara merdeka secara de facto, bukan negara yang cukup berwibawa dan jelas bukan negara makmur sejahtera. Indonesia adalah negara miskin dengan kekayaan alam melimpah, yang di eksploitasi terus menerus oleh negara maju dan dikuasai oleh Negara asing dalam bentuknya yang paling canggih.

Dengan demikian akanlah tampak jelas bahwa di era post globalisme, kehidupan masayarakat Indonesia akan semakin sulit dan terjepit, karena kebanyakan masyarakat Indonesia berada pada garis kemiskinan bahkan dibawah garis kemiskinan. Mereka akan sulit untuk mendapatkan bahan makanan pokok sehari-hari karena melambung tingginya harga bahan-bahan pokok tersebut, dan sekali lagi penulis tegaskan, bahwa masyarakat Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan dan pelaku ekonomi lemah-menengah kebanyakan dari mereka adalah basis riil masayarakat NU. Siapakah yang akan peduli dengan mereka !

Skema Benteng Perekonomian

Peristiwa yang menghawatirkan pada era post globalisme ini, perlu mendapat respon aktif-kreatif adanya sebuah ide dari NU, guna mengembangkan masyarakat basis riilnya. Pengembangan masyarakat yang bermuara pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan kebutuhan dan permasalahan masyarakat sebagai subyek atau obyek, sedangkan kebutuhan masyarakat itu selalu berkembang dan permasalahan masyarakatpun hampir tak pernah absen di semua lapisan masyarakat, baik secara moril maupun materiil, maka sesungguhnya pengembangan masyarakat akan selalu mendapat tempat sepanjang masa di masyarakat manapun (KH Sahal Mahfudh, 1994 : 356)

Respon aktif-kreatif inilah yang akan membawa basis masa NU dari keterpurukan dan kekalahan. Perjuangan akan adanya peningkatan pada masyarakat bawah bila kita lihat bahwa sangat singkron dengan asas-asas yang diajarakan oleh baginda Rasulullah SAW untuk memberikan makna dalam kehidupan masing-masing individu, asas ini berupa “sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat bagi orang lain”, dengan demikian dalam hidup kita tidak layak jika hanya memikirkan diri sendiri tanpa harus memberikan manfaat pada orang lain, karena kehidupan yang demikian adalah menjalani kehidupan yang percuma karena tak bermakna. Konsekuensi dari kehidupan yang memberikan manfaat pada orang lain adalah bila kita meraih kesejahteraan bukan karena penindasan terhadap orang lain tapi karena kesejahteraan yang diraih berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Berkaitan dengan dasar dan kondisi inilah sekema benteng perekonomian NU harus dibentuk. Wujud atau bentuk skema benteng ini  bahwa NU harus menciptakan atau memiliki Geng yang besar, Geng yang mampu mengakomodir gerak perekonomian warga NU. Di samping itu Geng ini bisa dibantu oleh partisipasi masyarakat itu sendiri atau lembaga-lembaga suwadaya masyarakat yang memiliki animo dan orientasi sesuai ideologi Nahdliyin.

Gerak perekonomian warga NU yang penulis maksud di sini adalah gerak perekonomian yang hanya memutar di kalangan masyarakat NU. Antara permintaan dan penawaran hanya berpindah dari satu tangan warga NU ke tangan warga NU yang lain bukan ke pihak asing atau pelaku sistem kapitalisme, pemenuhan kebutuhan dari pembelian dan penjualan hanya disalurkan ke sesama warga berbasis NU bukan ke pihak lain yang mengadopsi sistem kapitalis-neoliberalis. Dengan hal ini maka perekonomian NU akan aman dari ancaman yang mematikan.

Itulah wujud atau bentuk skema benteng pertahanan perekonomian NU di tengah arus globalisasi, sebuah sistem pertahanan yang melingkar di tengah derasnya arus globalisasi. Dengan benteng pertahanan ini NU akan mampu survive dalam menghadapi masa depannya demi kesejahteraan dan keamanan warganya. Disamping itu harus ada pemberdayaan atas masyarakat yang ekonomi lemah oleh kalangan masyarakat yang ekonomi kuat, hal terakhir ini pun akan semakin membantu tegak dan kuatnya benteng pertahanan ini dan kesejahteraan pun akan semakin merata.
2.      NU dan Revitalisasi Pesantren
Dengan terpilihnya  KH. Said Aqil Siradj sebagai Ketua Umum NU pada muktamar NU ke-32 di Makasar akhir Maret lalu, maka asa sebagian besar warga nahdliyin agar NU menjaga jarak dari tarik-menarik politik praktis kiranya segera terwujud. Apalagi terpilihnya KH. Said tersebut dibarengi dengan terpilihnya KH. Sahal Mahfudz sebagai Rais Am NU, dimana beliau adalah seorang figur di NU yang low profil dan juga jauh dari nafsu politik.
KH. Said Agil Siradj sendiri setelah terpilih menegaskan bahwa dia akan membersihkan NU dari tarik-menarik kepentingan politik praktis dan membawa NU kembali ke pesantren. Pesantren sebagai pusat agama, ilmu, akhlak, peradaban, budaya, kesederhanaan, kemandirian, dan persaudaraan yang sangat kukuh. Dia juga mengatakan, NU di bawah kepengurusannya kelak akan merevitalisasi pesantren. Hal itu sebagai prinsip atau paradigma membangun masyarakat, khususnya warga nahdliyin. Semua itu berangkat dari semangat revitalisasi pesantren dengan mengonseptualkan kitab kuning karena kita tidak bisa lepas dari itu.
Menurut Said, pesantren akan menyelamatkan jati diri umat Islam dan lebih umum untuk bangsa. Makanya, misi dia membawa NU kembali ke pesantren. Di tengah era globalisasi yang sangat keras, tarik-menarik yang sangat keras, dari kanan radikalisme, sektarian, teroris, dari kiri sekuler, liberal, maka berangkat dari prinsip pesantren itulah kita bisa menyelamatkan jati diri dan nilai-nilai dari bangsa Indonesia.
Dengan adanya tekad dan keinginan dari Ketua Umum NU terpilih tersebut bahwa NU akan dijauhkan dari terik-menarik kepentingan politik praktis dan mengembalikan NU ke pesantern, sudah sepantasnya program tersebut perlu di dukung oleh semua warga nahdliyin dan juga oleh semua elemen bangsa termasuk pemerintah. Karena dengan suksesnya program revitalisasi pesantren, maka akan memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi penyelesaian permasalahan bangsa yang sangat kompleks sekarang ini.
Pesantren , Terosisme dan Radikalisme
Anjuran jihad global melawan Amerika, sekutunya, dan siapa pun yang tidak sefaham dengan teror bom oleh kelompok fundamentalis, menjadi bahan penting dan cambuk bagi pemerintah dan masyarakat untuk lebih serius memberantas terorisme. Dan tentu hal ini juga menjadi tugas pesantren-pesantren (khusunya pesantren NU) untuk membantu memberantasnya.
Pandangan intelektual barat bahwa pesantren di Indonesia juga dijadikan tempat pengkaderan Islam fundamentalis seperti halnya yang dilakukan madrasah di beberapa negara Asia Selatan dan Asia Barat harus diluruskan. Karena kenyataannya lebih dari 17.000 pesantren (mayoritas adalah pesantren NU) yang ada di Indonesia tidak ada yang mengajarkan perihal Islam fundamintalis apalagi sampai yang mengajarkan terorisme. Memang benar ada satu  dua pesantren yang harus diawasi karena mengajarkan ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran ulama-ulama kita. Namun jumlah yang hanya satu dua tersebut tidaklah akan menghapus ajaran pesantren yang mayoritas, penuh kedamaian dan rahmatan lilalamin.
Pesantren sebagai pusat pengkaderan para generasi muda untuk melawan radikalisme, fondamentalisme dan terorisme sangatlah tepat. Karena di pesantrenlah nilai-nilai utama perihal ahlakul karimah diajarkan dan dipraktekkan oleh para santri dengan bimbingan para kyai. Sehingga selanjutnya nilai-nilai ahlakul karimah tersebut bisa disebarluaskan ke masyarakat secara luas.
Memang ada satu dua pesantren di tanah air mengajarkan ajaran radikal, proses radikalisasi pemikiran mereka ini terjadi seiring pengalaman kelompok mereka yang melihat dan mempersepsi ketertindasan, berikut justifikasi teks-teks Al Quran dan hadis yang ditarik sepotong-potong, literal, dan di luar konteks.
Untuk itu kalangan muslim mainstream seperti NU dan kelompok sepaham lainnya harus terus melakukan dialog dan pertemuan dengan pesantren-pesantren ekstrem semacam ini. Sehingga tradisi, jati diri, dan independensi pesantren secara keseluruhan tetap bisa dijaga, akan tetapi adaptasi terhadap hal-hal yang lebih baik dan positif, dalam konteks keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan juga perlu dikembangkan dalam bentuk pengembangan sumber daya manusia ustadz – ustadzah, kurikulum, metodologi, dan fasilitas-fasilitas pendidikannya. Akhirnya pandangan serta ajaran yang sekiranya menyimpang dari prinsip-prinsip Islam rahmatan lil alamin bisa dieleminasikan.
Dan bahkan NU dengan pesantrennya harus menjadi pelopor untuk menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan llilalamin dan anti terorisme ini kepada seluruh penjuru dunia, utamanya terhadap masyarakat Barat yang salah dalam memandang Islam. Namun juga tidak menafikan untuk membuat dialog dengan kelompok-kelompok fondamentalis dalam Islam yang membenarkan adanya terorisme seperti terjadi di Asia Barat dan Asia Selatan.
Pesantren, Sekulerisme dan Liberalisme
Akhir-akhir ini pemikiran liberal ala Jaringan Islam Liberal (JIL) sangat marak dan menuai kontroversi di masyarakat, khususnya di kalangan pesantren NU. Ajaran JIL (salah satunya) bahwa semua agama itu benar, desakralisasi Al Qur’an, dan deuniversalisasi Al Qur’an mendapat resistensi yang sangat tinggi di kalangan nahdiyyin utamanya di pesantren-pesantren NU.
Seperti diungkapkan oleh Juru Bicara Forum Kiai Muda (FKM) Jawa Timur KH Abdullah Syamsul Arifin bahwa dengan tegas NU secara institusi tidak sepakat dengan ajaran JIL yang diajarkan oleh Penggerak JIL Ulil Abshar Abdalla. Ajaran JIL jauh berbeda dengan ajaran NU dan ajaran JIL ini telah menyimpang dari ajaran Ahlul Sunnah Wal Jamaah.
NU secara organisatoris harus bisa menyatakan bahwa JIL adalah bukan bagian dari NU. Namun NU dan pesantrennya seyogyanya tetap menghormati diskursus pemikiran yang disampaikan oleh JIL seperti tersebut di atas. Karena dalam tataran diskursus pemikiran tetap harus dihormati sepanjang tidak ada pemakasaan kehendak dan pemaksaan pemikiran.
Sehingga pesantren akan tetap dan selalu menjaga pendulum supaya berada di tengah dalam artian tidak bergerak ke kanan ke arah radikalisme, sektarian dan terorisme maupun bergerak ke kiri ke arah liberalisme dan sekulerisme.
Ajaran yang diusung pesantren berupa ajaran ahli sunnah wal jama’ah akan selalu dan tetap membawa Islam yang rahmatan lilalamin.
Pesantren Sebagai Pusat Agama, Budaya dan Kesederhanaan Hidup.
Tidak bisa dipungkiri bahwa di Indonesia ini pusat kajian Islam salah satunya adalah di pesantren-pesantren. Maka kemajuan dunia pesantren harus terus diupayakan agar kajian-kajian keagamaan, baik itu berupa pengajian, pendidikan, majlis taklim, majlis dzikir ataupun bentuk lainnya terus berlangsung dan semakin meningkat kwalitasnya.
Untuk itu dorongan dari NU secara organisatoris terhadap kemajuan dunia pesantren harus terus diupayakan dan ditingkatkan agar ajaran-ajaran ahli sunah wal jama’ah yang terus dilestar        ikan secara istiqomah oleh pesantren ini bisa didakwahkan dan disosialisasikan ke seluruh lapisan masyarakat khusunya masyarakat kelas urban di perkotaan yang selama ini kurang tersentuh oleh dakwah NU. Dan tentunya juga sosialisasi dan dakwah ajaran ahli sunnah wal jama’ah  ke seluruh penjuru dunia baik ke sesama negara-negara muslim maupun ke negara-negara non muslim.
Sudah kita ketahui bersama bahwa saat ini kondisi kemrosotan moral dan budaya di masyarakat semakin parah, ini ditandai dengan jauhnya masyarakat kita dari sifat hidup sederhana dan bahkan hidup hedonis setiap saat dipertontonkan lewat tayangan TV yang tiada henti, dan itu semua tentunya akan membuat masyarakat jauh dari hidup sederhana.
Jauhnya sifat hidup sederhana tersebut dan minimnya pegangan akan ajaran agama serta tiada kesadaran untuk berprilaku tertib,  tidaklah mengherankan kalau budaya korupsi sangat merajalela di masyarakat dan semakin hari semakin menjadi-jadi tanpa ada tanda-tanda akan berakhir. Dan ini akan mengancam kelangsungan kehidupan bernegara yang bermartabat.
Belum lagi pergauulan bebas di kalangan remaja dan muda-mudi semakin marak. Padahal pergaulan bebas tersebut sangat jauh dari nilai-nilai budaya dan agama yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Untuk mensolusikan itu semua tentunya peran aktif pesantren dengan sarana dan dorongan dari NU secara organisatoris untuk menjadi pelopor dan penggerak anti korupsi di tanah air sangat sekali diharapkan. Dan juga kepeloporan dan pembinaan mental keagamaan yang dilakukan pesantren dalam meng-counter pergaulan bebas dan juga melestarikan serta memupuk budaya hidup sederhana akan tetap diharapkan dan ditingkatkan.
Karena dengan peran serta pesantren yang sekaligus juga sebagai pusat agama, pusat ilmu, pusat budaya, pusat hidup sederhana dan pusat kemandirian dan kebersamaan, maka akan lebih mudah untuk menjalankan program anti korupsi di tengah-tengah masyarakat dan juga untuk mengikis dekadensi moral yang terus terjadi serta meningkatkan pola hidup sederhana di tengah-tengah masyarakat.
Akhirnya bisa dikatakan bahwa dengan “kembalinya” NU mengurusi pesantren, maka program revitalisasi pesantren dengan beberapa agenda seperti ditawarkan di atas akan mudah dan cepat tercapai. Sehingga hasilnya akan bisa dinikmati oleh warga nahdhiyyin dan warga bangsa secara umum.

                                           PENUTUP

Pada akhirnya, Islam dan umat Islam sesungguhnya dapat memanfaatkan globalisasi sebagai jalan efektif untuk memperteguh identitasnya. Bahkan sudah seharusnya demikian. Artinya pemanfaatan globalisasi dalam rangka meneguhkan –bahkan menyebarkan- identitas Islam dan umat Islam sesungguhnya telah sampai pada taraf kewajiban. Apalagi salah satu doktrin penting yang sering digaungkan oleh umat Islam sendiri adalah bahwa Islam adalah agama ‘alami.

Pemanfaatan globalisasi tentu saja didasarkan pada pandangan objektif bahwa fenomena ini tidak sepenuhnya mengandung nilai-nilai negatif. Fenomena ini sebenarnya menyimpan sebuah kekuatan yang sangat dahsyat, yang dampak-dampaknya sepenuhnya bergantung pada “siapa dan bagaimana” ia dimanfaatkan. Senjata paling mematikan yang dimiliki oleh globalisasi adalah media informasi dan sarana telekomunikasi dengan segala variannya yang berkembang setiap hari. Dan seperti yang telah disinggung sebelumnya, hari ini kita menantikan kolaborasi cantik antara ulama, pemikir, ilmuwan ahli, budayawan, dan pelaku-pelaku globalisasi muslim untuk meracik secara tepat, untuk kemudian menyajikan jawaban positif Islam atas globalisasi.


DAFTAR PUSTAKA

1. ‘Ammar Thalibi. Al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Sulukiyyat wa al-Akhlaq. Majalah al-Ra’id. Edisi 236 Rabi al-Awwal 1423/mei 2002. Al-Dar al-Islamiyyah li al-I’lam. Jerman.

2. Anwar ‘Isyqi. Al-Syayathin Takhtabi’ fi al-Tafashil ((Silsilah Kitab al-Ma’rifah 7-Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-Akhar). Cetakan pertama. 1420 H.
4. Hamid Fahmi Zarkasyi. Merespon Globalisasi dengan Plurasime Agama. http://www.insistnet.com/index2.php?option_content&task=view&id=25.